Thursday, August 29, 2013

Sejarah Banjir di DKI Jakarta


Banjir adalah masalah klise yang menjadi momok bagi warga Jakarta, terutama bagi mereka yang dari tahun ke tahun selalu menjadi langganan banjir. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi banjir, namun tampaknya banjir dan permasalahannya tidak bisa begitu saja lenyap dari Kota Jakarta. Banjir menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kota Jakarta. Sesungguhnya banjir di ibu kota bukanlah masalah baru. Pemerintah kolonial Belanda pun sudah sedari awal dipusingkan dengan banjir dan tata kelola air Jakarta. Upaya pengendalian banjir di Jakarta sesungguhnya sama tuanya dengan usia Kota Jakarta itu sendiri. Jakarta yang didirikan oleh Jan Pieters Z. Coen pada awal abad ke-17 dengan nama Batavia yang dibangun dengan konsep kota air (waterfront city) mirip dengan negeri Belanda, merupakan kota yang akrab dengan permasalahan banjir. 









Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya, tahun 1621 kota ini mengalami banjir. Ini adalah catatan pertama dalam sejarah Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda banjir besar. Selain itu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, ketika wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora. Berdasarkan catatan sejarah banjir, kota ini sudah beberapa kali dilanda banjir, antara lain, pada tahun 1621, 1654, 1873, dan pada tahun 1918 pada masa pemerintah kolonial Belanda. Kemudian pada periode terakhir ini, banjir besar terjadi pada tahun 1979, 1996, 1999, 2002, dan 2007.







Sejak tahun 1913, Belanda mengalokasikan dana 2 juta gulden untuk mengatasi banjir. Van Breen menjadi insinyur yang mendesain upaya itu. Salah satu produknya adalah pembuatan banjir kanal. Namun, Banjir Kanal Barat yang dibuat Van Breen tahun 1920-an belum tuntas pembangunannya hingga Belanda pergi. Sedangkan Kanal Lingkar Kota dan sistem polder di sejumlah area genangan banjir sama sekali belum terbangun.






Pascabanjir tahun 1965, Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta, yang tugasnya memperbaiki kanal dan membangun enam waduk di sekitar Jakarta. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menyatakan banjir sebagai salah satu masalah utama Ibu Kota. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain: 
(a) Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol. Bersamaan dengan itu juga dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitarnya
(b) Pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur
(c) Pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman. 
Namun, waduk itu sebagian sudah hilang dan ada yang belum terbangun hingga kini. Banjir pun terus melanda Jakarta. Tahun 1973 direncanakan proyek Kanal Barat dituntaskan. Anggaran berasal dari bantuan Belanda. Namun, proyek ini ternyata batal dikerjakan. Tahun 1984 pemerintah merencanakan pembangunan waduk Depok. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan desain detailnya sudah selesai, tetapi juga tak jadi dibangun.




Banjir besar terjadi lagi pada tahun 1996, 2002 dan Februari 2007. Banjir 2002 Menurut Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menggenangi 42 kecamatan di Jakarta (100 persen) dengan 168 kelurahan (63,4 persen). Luas genangan mencapai 16.041 hektar atau 24,25 persen dari luas DKI Jakarta dengan ketinggian air tertinggi lima meter. Korban banjir sebanyak 381.266 jiwa dan menelan korban jiwa sebanyak 21 orang (Kompas, 5 Februari 2002).





Kejadian banjir besar th 1996, dan th 2002 telah menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah, demikian juga kejadian besar pada tahun 2007 telah merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi. Banjir 2007 telah menyebabkan 55 orang menjadi korban meninggal dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah merupakan kerugian tidak langsung.